Kamis, 03 Mei 2012

Srikadhi Cilik #1

    Udara dingin merasuk sampai ke tulang sum-sum. Membangunkanku pada pagi yang fana ini. Rintikan gerimis yang menetes menambah dinginnya. Sehingga terpaksa aku mengambil jaket dan memakainya. Meski tidak terlalu menghangatkan tubuhku.
    Perkenalkan namaku Kanaya. Umurku 14 tahun. Ya, aku tahu, umur 14 tahun adalah usia pelajar Sekolah Menengah. Akan tetapi aku tidak menyandang status itu. Aku putus sekolah sejak aku lulus dari Sekolah Dasar. Ada beberapa hal kenapa aku putus dari sekolah. Semenjak ayahku sudah tidak bertani lagi karena sawahnya dijual untuk pembangunan pabrik, kini keluargaku hanya bergantung pada ladang tebu yang berada di belakang rumah. Bicara tentang keluarga, aku mempunyai 2 adik perempuan dan 1 kakak laki-laki. Mereka semua langsung putus sekolah sejak ekonomi keluargaku menurun. Soal putus sekolah, tidak masalah bagiku. Toh, di desaku, Desa Gunung Rejo, banyak remaja yang putus sekolah juga. Sama sepertiku. Jadi aku tidak perlu minder. Bahkan ada seorang dermawan yang mengunjungi desaku dan berinisiatif untuk membangun Balai Latihan Kerja. Sekarang, balai tersebut sedang dalam masa pembangunan. Gedungnya hampir rampung. Mungkin bulan depan sudah dapat difungsikan.
    Dan, di pagi yang dingin ini, aku mulai bersiap-siap untuk beraktivitas. Sehari-hari, aku menghabiskan waktu untuk berlatih menari. Aku sangat suka menari. Itu sudah menjadi bagian dari hidupku. Biasanya, aku berlatih menari di sanggar yang terletak di desa tetangga. Sebelum berangkat ke sanggar, aku harus membantu ibuku menyelesaikan pekerjaan rumah terlebih dahulu. Seperti memasak di dapur, menyapu halaman rumah, dan pekerjaan rumah lainnya. Saat aku sedang menyapu halaman depan rumah, terlihat Rika sedang berjalan melewati rumahku sambil membawa tas belanja. Rupanya dia sepulang dari berbelanja di Mbok Nah. Rika adalah teman baikku. Dia juga berlatih menari di sanggar yang sama denganku.
“Hai, Rika!” sapaku sambil tersenyum.
“Hai juga, Aya!” jawabnya. Memang, teman-temanku memanggilku dengan nama Aya karena lebih simpel.
“Nanti kamu datang ke sanggar kan?”
“Ya pasti lah.”
“Nanti kita berangkat sama-sama, ya.”
“Oke, ku tunggu di perbatasan desa. Seperti biasanya.”
“Iya, sampai jumpa.”
“Sampai jumpa!” Lalu dia berjalan kembali. Sedangkan aku masih sibuk menyapu.
    Matahari mulai mengintip dari balik awan. Rintikan gerimis yang tadi membasahi bumi pertiwi juga sudah tiada. Kehangatan sinar matahari muncul seiring dengan berjalannya waktu. Aku pun sudah selesai dengan pekerjaanku. Kini aku bersiap-siap untuk pergi ke sanggar dan berlatih menari. Sanggat tari itu bernama sanggar tari “Ken Dedes”. Seperti nama putri yang cantik pada zaman kerajaan Singasari. Untuk berlatih menari disana, tidak dipungut biaya sepeserpun karena itu termasuk program swadaya desa. Latihan menari dimulai pukul 8 pagi. Namun aku berangkat pukul enam dari rumah karena jarak tempuh untuk sampai kesana cukup jauh sehingga menghabiskan waktu banyak.
    Aku berlari menghampiri Rika yang sudah menunggu di perbatasan desa. Perbatasan desa kami berupa sungai kecil. Aku dan Rika memutuskan untuk mandi terlebih dahulu di sungai tersebut. Itu yang biasa kami lakukan sebelum menuju sanggar karena di rumah-rumah penduduk desa kami, air bersih sangat sulit didapat. Sehingga masyarakat lain juga demikian, mandi di sungai sehari-harinya. Setelah selesai membasuh diri, kami memulai perjalanan menuju sanggar. Sepanjang perjalanan kami bercanda-tawa. Kami juga bertemu dengan teman-teman lain yang akan berangkat menuju sanggar. Akhirnya kami berangkat bersama-sama. perjalanan yang ditempuh jadi tak terasa jauh. Hingga tanpa disadari, sampailah kami di sanggar tari.
    Kami langsung bersiap-siap untuk berlatih menari. Namun sebelumnya, kami melakukan pemanasan terlebih dahulu.
“Ayo, semuanya. Kita lakukan pemanasan dulu. Segeralah berbaris” kata mbak Sofi sebagai pelatih tari. Orangnya sangat disiplin, tegas, dan tidak suka membuang-buang waktu. Berbeda dengan mbak Lastri, pelatih tari kami yang lain. Orangnya sangat kalem dan lembut. Meski begitu, mereka berdua adalah pelatih tari baik dan bijaksana.
    Setelah pemanasan, mbak Lastri mengumumkan sesuatu.
“Para Srikandhi-Srikandhi cilik...” sapanya pada kami semua dengan ramah. Kami mendapat julukan “Srikandhi Cilik” yang artinya “Srikandhi kecil”.
“... satu bulan lagi ada peresmian gedung Balai Latihan Kerja di desa Gunung Rejo. Kepala desa disana meminta kita untuk menampilkan sebuah tarian pada saat peresmian nanti” lanjutnya.
    Para “Srikandhi Cilik” langsung kegirangan karena tarian mereka akan diapresiasi dan ditonton banyak orang. Begitupula aku. Aku sangat senang mendengar hal itu.
    “Sudah jelas kan pengumumannya? Mulai hari ini, ayo kita berlatih maksimal dan menampilkan yang terbaik!” seru mbak Sofi tiba-tiba. Kami mulai berlatih. Tari yang akan kami tampilkan nanti adalah tari “Alap-Alap”. Tari tersebut menggambarkan tentang sekelompok burung Alap-Alap yang sedang berterbangan kesana-kemari, lalu mengintai mangsa dan berbagi mangsa bersama-sama. dengan iringan gamelan, kami bergoyang, bergolek, mengibaskan tangan seolah kami terbang di langit lepas, dan gerakan tari lainnya. Tak terasa waktu latihan telah usai dan sudah saatnya pulang. Rasa lelah menggeluti seluruh tubuhku. Demikian juga Rika. Dia terlihat cukup lemas. Sehingga dalam perjalanan pulang, kami tidak terlalu banyak bicara.

*bersambung dulu yak !*